Renungan Harian
Desember 06, 2012
Haloo para blogger kesayangan sakalian, kali ini saya mau sharing makanan rohani untuk kita semua.
jangan pikiran atau otak aja yang kenyang, jiwa kita juga gak boleh hauss loh, apalagi akan iman. Karena kita tumbuh dalam iman kita sendiri, yakni iman kepada Tuhan Allah kita:))
Judul renungan kali ini adalah:
Kaya atau Miskin?
Ayat bacaan: Amsal 30:8
===================
"...Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku."
Apakah ada diantara anda yang ingin terus hidup miskin, serba kekurangan sehingga sulit untuk bisa hidup secara layak? Tentu saja tidak satupun dari kita ingin mengalami itu. Kita bekerja dan berdoa agar Tuhan memberkati usaha kita agar kita bisa mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga. Tapi di sisi lain, gaya hidup penuh kemewahan akan membuat kita menjadi hamba-hamba uang yang terus menerus berusaha mengeruk keuntungan dengan menghalalkan segala cara. Seseorang yang saya kenal dekat menceritakan bagaimana kemewahan sudah menjadi gaya hidup atau lifestyle di kota-kota besar seperti ibu kota. Mereka tidak lagi merasa sayang untuk mengeluarkan uang beberapa juta hanya untuk bersenang-senang, makan dan sebagainya hanya dalam waktu kurang dari semalam tanpa berpikir perlu untuk menolong saudara sesama manusia yang mungkin untuk sekedar makan sedikit saja sudah sulit. Kalau sudah begini, kekayaan bisa membuat kita terjerumus menjadi jauh dengan Sang Pemberinya sendiri. Itu jelas berbahaya. Dan Yesus sendiri sudah mengingatkan: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Matius 16:26).
Apakah itu artinya kita tidak boleh untuk menjadi kaya? Tentu saja bukan begitu, karena Tuhan sendiri menjanjikan kita sebuah kehidupan yang berkelimpahan. Tetapi yang terbaik adalah, ketika kita mendapat kesempatan untuk meperoleh harta, seharusnya itu hadir ketika kita sudah benar-benar siap untuk menerimanya. Arti siap disini adalah sudah mengetahui terlebih dahulu dengan benar untuk apa sebenarnya Tuhan memberkati kita dan untuk apa semuanya itu seharusnya dipakai, lalu siap untuk melakukan sesuai dengan kehendak Tuhan. Yesus berkata: "Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya." (Matius 13:12). Mempunyai apa? Dalam versi bahasa Inggris yang dimaksudkan adalah "spiritual knowledge", pengetahuan dan pemahaman yang benar akan maksud Tuhan. Inilah yang mampu membuat kita tetap taat dan setia dalam kondisi apapun, termasuk ketika harta kekayaan hadir dalam diri kita. Itu akan memampukan kita untuk tidak terjatuh dan tersesat karena kemilau harta. Oleh karenanya kita perlu hikmat dari Tuhan agar bisa tetap berada dalam jalan yang lurus dan tidak mudah disesatkan oleh berbagai godaan duniawi yang bisa terasa begitu menggiurkan sehingga sulit untuk ditolak.
Ada sebuah doa yang bagus mengenai hal ini yang disebutkan dalam kitab Amsal. "Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku." (Amsal 30:7-8). Mari kita fokus kepada hal kedua dalam doa ini yang bunyinya: "jangan berikan kemiskinan dan kekayaan, tetapi berilah apa yang menjadi bagianku." Apa maksudnya dan mengapa demikian? Alasannya disebutkan pada ayat berikutnya, yaitu "Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku." (ay 9). Sesungguhnya ini penting untuk dicermati. Tentu Tuhanlah sebenarnya yang tahu sampai dimana kemampuan dan kapasitas kita untuk menerima sesuatu. Jangan sampai kita menderita miskin lalu sulit untuk menjadi pelaku-pelaku firman Tuhan, di sisi lain jangan sampai kekayaan membuat hubungan kita malah rusak dengan Tuhan. Apa yang baik adalah sesuai dengan takaran Tuhan, bukan takaran kita. Dia tahu apa yang kita butuhkan, Dia jauh lebih mengenal diri kita, oleh karena itu yang terbaik adalah menyerahkan keputusan ke dalam tangan Tuhan.
Alkitab pun banyak berbicara mengenai hal ini dalam ayat-ayat lain. Lihatlah bagaimana doa yang diajarkan Tuhan Yesus juga berisikan pesan yang sama. "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya." (Matius 6:11). Secukupnya, itu bentuk permintaan lewat doa yang terbaik seperti yang diajarkan Yesus sendiri. Lalu kita mungkin bertanya, seberapa cukupkah 'secukupnya' itu? Bukankah masing-masing orang mungkin memiliki standarnya sendiri? Tetapi Alkitab ternyata berkata seperti ini: "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah." (1 Timotius 6:8). Makanan dan pakaian, itulah kebutuhan paling mendasar dalam hidup manusia, sehingga seharusnya jika keduanya sudah terpenuhi, itu sudah cukup untuk bisa mendatangkan rasa syukur. Jika tidak menyadari hal ini maka kita pun akan lupa bersyukur dan akan terus hidup penuh dengan rasa tidak puas. Lalu yang terjadi kemudian: "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan." (ay 9). Kebinasaan, itu bisa menjadi ujung akhir ketika kita berorientasi kepada kekayaan dan menghamba pada uang.
Karenanya, yang terbaik bagi kita adalah membiarkan Tuhan yang menentukan seberapa banyak yang sebaiknya kita terima. Tuhan bisa memberikan segalanya hingga berkelimpahan, namun sanggupkah kita menerimanya tanpa kemudian menjadi rusak? Mampukah kita tetap bersyukur dan mempergunakannya lebih lagi untuk memberkati sesama kita, atau malah membuat kita menjadi tamak dan ingin terus mengejar lebih banyak lagi untuk kesenangan kita sendiri? Kita harus belajar untuk bersyukur dalam segala keadaan. Terus menerus merasa kurang akan membuat kita melupakan segalanya kecuali terus mengejar harta. Kita akan lupa membangun hubungan dengan Tuhan, kita tidak akan ingat lagi untuk bersyukur. Jika Alkitab sudah mengatakan bahwa makanan dan pakaian itu sudah cukup, bukankah itu seharusnya sudah bisa membuat kita bersyukur? Penyertaan Tuhan dalam hidup adalah jauh lebih penting. Dia selalu mengetahui apa yang kita butuhkan, Dia sudah berjanji untuk mencukupi semuanya itu, dan itu jauh lebih penting ketimbang hal lainnya. Itulah yang akan mampu membuat kita selalu dipenuhi rasa syukur dan tidak membuat ibadah kita sia-sia atau kehilangan makna.
Kehilangan makna? Mari lihat ayat ini: "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar." (1 Timotius 6:6). Biarlah Tuhan yang menentukan seberapa besar kita layak terima, dengan besar yang cukup sesuai kapasitas kita dan tidak sampai membuat kita lupa diri dan lupa kepadaNya. Tuhan tahu seberapa jauh kita bisa dipercaya, dan hendaklah kita mengisi doa-doa kita seperti doa yang diajarkan Tuhan Yesus dan juga doa dalam Amsal di atas. Biarlah Tuhan memberikan tepat secukupnya bagi kita, sesuai takaran yang dianggap Tuhan paling tepat bagi kita, untuk tetap bisa bersyukur dan memberkati sesama.
Bukan kekayaan yang penting, tetapi penyertaan Tuhan
Ayat bacaan: Amsal 30:8
===================
"...Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku."
Apakah ada diantara anda yang ingin terus hidup miskin, serba kekurangan sehingga sulit untuk bisa hidup secara layak? Tentu saja tidak satupun dari kita ingin mengalami itu. Kita bekerja dan berdoa agar Tuhan memberkati usaha kita agar kita bisa mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga. Tapi di sisi lain, gaya hidup penuh kemewahan akan membuat kita menjadi hamba-hamba uang yang terus menerus berusaha mengeruk keuntungan dengan menghalalkan segala cara. Seseorang yang saya kenal dekat menceritakan bagaimana kemewahan sudah menjadi gaya hidup atau lifestyle di kota-kota besar seperti ibu kota. Mereka tidak lagi merasa sayang untuk mengeluarkan uang beberapa juta hanya untuk bersenang-senang, makan dan sebagainya hanya dalam waktu kurang dari semalam tanpa berpikir perlu untuk menolong saudara sesama manusia yang mungkin untuk sekedar makan sedikit saja sudah sulit. Kalau sudah begini, kekayaan bisa membuat kita terjerumus menjadi jauh dengan Sang Pemberinya sendiri. Itu jelas berbahaya. Dan Yesus sendiri sudah mengingatkan: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (Matius 16:26).
Apakah itu artinya kita tidak boleh untuk menjadi kaya? Tentu saja bukan begitu, karena Tuhan sendiri menjanjikan kita sebuah kehidupan yang berkelimpahan. Tetapi yang terbaik adalah, ketika kita mendapat kesempatan untuk meperoleh harta, seharusnya itu hadir ketika kita sudah benar-benar siap untuk menerimanya. Arti siap disini adalah sudah mengetahui terlebih dahulu dengan benar untuk apa sebenarnya Tuhan memberkati kita dan untuk apa semuanya itu seharusnya dipakai, lalu siap untuk melakukan sesuai dengan kehendak Tuhan. Yesus berkata: "Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya." (Matius 13:12). Mempunyai apa? Dalam versi bahasa Inggris yang dimaksudkan adalah "spiritual knowledge", pengetahuan dan pemahaman yang benar akan maksud Tuhan. Inilah yang mampu membuat kita tetap taat dan setia dalam kondisi apapun, termasuk ketika harta kekayaan hadir dalam diri kita. Itu akan memampukan kita untuk tidak terjatuh dan tersesat karena kemilau harta. Oleh karenanya kita perlu hikmat dari Tuhan agar bisa tetap berada dalam jalan yang lurus dan tidak mudah disesatkan oleh berbagai godaan duniawi yang bisa terasa begitu menggiurkan sehingga sulit untuk ditolak.
Ada sebuah doa yang bagus mengenai hal ini yang disebutkan dalam kitab Amsal. "Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku." (Amsal 30:7-8). Mari kita fokus kepada hal kedua dalam doa ini yang bunyinya: "jangan berikan kemiskinan dan kekayaan, tetapi berilah apa yang menjadi bagianku." Apa maksudnya dan mengapa demikian? Alasannya disebutkan pada ayat berikutnya, yaitu "Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku." (ay 9). Sesungguhnya ini penting untuk dicermati. Tentu Tuhanlah sebenarnya yang tahu sampai dimana kemampuan dan kapasitas kita untuk menerima sesuatu. Jangan sampai kita menderita miskin lalu sulit untuk menjadi pelaku-pelaku firman Tuhan, di sisi lain jangan sampai kekayaan membuat hubungan kita malah rusak dengan Tuhan. Apa yang baik adalah sesuai dengan takaran Tuhan, bukan takaran kita. Dia tahu apa yang kita butuhkan, Dia jauh lebih mengenal diri kita, oleh karena itu yang terbaik adalah menyerahkan keputusan ke dalam tangan Tuhan.
Alkitab pun banyak berbicara mengenai hal ini dalam ayat-ayat lain. Lihatlah bagaimana doa yang diajarkan Tuhan Yesus juga berisikan pesan yang sama. "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya." (Matius 6:11). Secukupnya, itu bentuk permintaan lewat doa yang terbaik seperti yang diajarkan Yesus sendiri. Lalu kita mungkin bertanya, seberapa cukupkah 'secukupnya' itu? Bukankah masing-masing orang mungkin memiliki standarnya sendiri? Tetapi Alkitab ternyata berkata seperti ini: "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah." (1 Timotius 6:8). Makanan dan pakaian, itulah kebutuhan paling mendasar dalam hidup manusia, sehingga seharusnya jika keduanya sudah terpenuhi, itu sudah cukup untuk bisa mendatangkan rasa syukur. Jika tidak menyadari hal ini maka kita pun akan lupa bersyukur dan akan terus hidup penuh dengan rasa tidak puas. Lalu yang terjadi kemudian: "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan." (ay 9). Kebinasaan, itu bisa menjadi ujung akhir ketika kita berorientasi kepada kekayaan dan menghamba pada uang.
Karenanya, yang terbaik bagi kita adalah membiarkan Tuhan yang menentukan seberapa banyak yang sebaiknya kita terima. Tuhan bisa memberikan segalanya hingga berkelimpahan, namun sanggupkah kita menerimanya tanpa kemudian menjadi rusak? Mampukah kita tetap bersyukur dan mempergunakannya lebih lagi untuk memberkati sesama kita, atau malah membuat kita menjadi tamak dan ingin terus mengejar lebih banyak lagi untuk kesenangan kita sendiri? Kita harus belajar untuk bersyukur dalam segala keadaan. Terus menerus merasa kurang akan membuat kita melupakan segalanya kecuali terus mengejar harta. Kita akan lupa membangun hubungan dengan Tuhan, kita tidak akan ingat lagi untuk bersyukur. Jika Alkitab sudah mengatakan bahwa makanan dan pakaian itu sudah cukup, bukankah itu seharusnya sudah bisa membuat kita bersyukur? Penyertaan Tuhan dalam hidup adalah jauh lebih penting. Dia selalu mengetahui apa yang kita butuhkan, Dia sudah berjanji untuk mencukupi semuanya itu, dan itu jauh lebih penting ketimbang hal lainnya. Itulah yang akan mampu membuat kita selalu dipenuhi rasa syukur dan tidak membuat ibadah kita sia-sia atau kehilangan makna.
Kehilangan makna? Mari lihat ayat ini: "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar." (1 Timotius 6:6). Biarlah Tuhan yang menentukan seberapa besar kita layak terima, dengan besar yang cukup sesuai kapasitas kita dan tidak sampai membuat kita lupa diri dan lupa kepadaNya. Tuhan tahu seberapa jauh kita bisa dipercaya, dan hendaklah kita mengisi doa-doa kita seperti doa yang diajarkan Tuhan Yesus dan juga doa dalam Amsal di atas. Biarlah Tuhan memberikan tepat secukupnya bagi kita, sesuai takaran yang dianggap Tuhan paling tepat bagi kita, untuk tetap bisa bersyukur dan memberkati sesama.
Bukan kekayaan yang penting, tetapi penyertaan Tuhan
0 komentar